Strategi Dan Metedologi Pembelajaran Pendidikan Akhlak

  1. Pendahuluan

Pembelajaran merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa. Di dalamnya terjadi proses interaksi antara kegiatan siswa belajar dan guru yang mengajar secara timbal-balik.[1]

Konsep pembelajaran bukan sekedar menempatkan siswa sebagai obyek studi dan guru sebagai subyeknya.[2] Oleh karena itu pembelajaran bukan sekedar guru berceramah dan berdiri di depan kelas (paedagogis), akan tetapi bagaimana teknik dan strateginya dalam mengkomunikasikan pesan/materi pengajaran, berinteraksi, mengorganisir dan mengelola siswa sehingga dapat berhasil dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selain itu  dalam kegiatan tersebut juga harus memandang tujuan agar siswa belajar secara aktif dalam sebuah proses kedewasaan belajar (andragogis) dengan menggunakan sumber-sumber ajar yang tersedia.[3]

  1. Strategi Pembelajaran Akhlak

Kata “akhlaq” (bahasa Arab) merupakan bentuk jamak dari kata “khuluq”, yang berarti tabiat, budi pekerti, kebiasaan. Kata “khuluq” mengandung segi-segi kesesuaian  dengan kata “khalqun” yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan “khaliq” (pencipta), dan “makhluq”(yang diciptakan). Hal ini mengandung makna bahwa rumusan akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dengan makhluk, dan antara makhluk dengan makhluk. Disamping  itu sumber akhlaq adalah dari khaliq (Allah SWT) dan juga dari makhluknya  (Nabi/Rasulullah SAW dan/atau manusia).[4]

Di sini akhlak merupakan aspek sikap hidup atau kepribadian hidup manusia dalam sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (ubudiah), hubungan manusia dengan manusia dan makhluk lainnya (muamalah) sebagai sistem hidup dan kepribadian hidup manusia social,ekonomi, pendidikan, keluarga, seni dan budaya, lingkungan hidup dan lain sebagainya.

Dengan demikian pendidikan akhlaq merupakan satu sub mata pelajaran pendidikan agama Islam yang khusus diajarkan di Madrasah-madrasah yang bermuatan pengetahuan, pemahaman dan penghayatan tentang keyakinan atau kepercayaan (terhadap suatu nilai) dalam Islam yang melekat dalam hati dan berfungsi sebagai pandangan hidup, untuk selanjutnya diwujudkan dan memancar dalam sikap hidup, perkataan dan amal perbuatan siswa dalam segala aspek kehidupan sehari-hari.

Terkait dengan pembelajaran akhlak, sebenarnya ini lebih didasarkan pada keyakinan hati yang selanjutnya dimanifestasikan dalam bentuk sikap hidup dan amal baik dalam dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian, untuk mencapai keyakinan hati yang kokoh serta kemantapan dalam bersikap dan beramal saleh diperlukan proses penalaran kritis untuk tidak terjebak pada keyakinan dogmatis dan rutinitas ritual. Sebab bagaimana mungkin seorang akan memiliki iman dan akhlak yang mulia jika penalarannya mati. Nurcholis Madjid menyatakan bahwa untuk hal tersebut diperlukan pembangunan kesadaran religius yang dilandasi tiga aspek: akal, hati dan fisik, yang secara berbarengan mengambil bagian dan peran secara aktif.[5]

Namun dalam perkembangannya, pembangunan kesadaran tersebut tidak mendapat porsi yang seimbang. Pola pendidikan yang ada selama ini terjadi lebih menitikberatkan pada target kognitif-intelektual, namun kering dari aspek pembentukan kepribadian.[6]

Hal ini sebagaimana diperkuat Amin Abdullah, bahwa pendidikan agama yang bersandar pada bentuk metodologi yang bersifat statis-indoktrinatif-doktriner, tidaklah menarik bagi anak didik dan sekaligus tidak mengantarkan anak didik sampai pada tahapan afeksi, apalagi pada tahapan psikomotorik. Oleh karena itu menurutnya perlu untuk diangkat topik-topik, isu-isu, tema-tema dan problematika sosial keagamaan serta sosial kemasyarakatan yang kongkret dan relevan dengan keadaan sekarang.[7]

Strategi pembelajaran sebagaimana telah dibahas dalam beberapa pertemuan terdahulu dapat disimpulkan sebagai taktik untuk mencapai keberhasilan belajar-mengajar, yang meliputi lima  unsur : pertama pendahuluan pembelajaran, kedua penyajian informasi, ketiga partisipasi siswa, keempat evaluasi dan terakhir kegiatan lanjutan.[8]

Sebenarnya terdapat beberapa tawaran strategi pembelajaran, sebagaimana ditawarkan oleh Wijianta yang menggunakan lima strategi pembelajaran: langsung, tidak langsung, Interaktif, eksperimental dan belajar mandiri.[9] Namun dalam kaitannya dengan bidang kajian pembelajaran nilai (akhlak), maka dalam tulisan ini lebih condong untuk menggunakan strategi yang digunakan oleh Muhaimin, yaitu :

  1. Strategi indoktrinasi, melalui pemberitahuan kepada siswa nilai mana yang baik dan nilai mana yang buruk. [10] Dalam strategi ini biasanya bersifat monolog dan anak dipaksakan untuk menerima nilai yang datangnya dari pendidik (guru), tanpa terjadi dialog  atau komunikasi dua arah. Pada tahap ini baru terjadi transformasi nilai dan belum terdapat transaksi/kesepakatan untuk menginternalisasi nilai.
  2. Strategi bebas, yakni anak dibiarkan untuk memilih sendiri mana nilai yang dianut atau diyakini secara bebas.
  3. Strategi keteladanan, dimana pendidik atau tenaga kependidikan lainnya menampilkan perilaku sesuai nilai etik-religius yang dianutnya.
  4. Strategi klarifikasi, yakni pendidik membantu siswa untuk memilih nilai etik-religius yang diyakininya sebagai baik, bukan memberitahukan  nilai mana yang baik.
  5. Strategi transinternalisasi, yakni siswa diajak mengenal nilai etik-religius yang digunakan dari zaman ke zaman oleh umat manusia, siswa dibawa untuk menghayatinya, selanjutnya menjadikan nilai itu miliknya melaui proses transinternalisasi.[11] Pada strategi ini seluruh pola strategi diatas dapat terangkum secara sempurna. Karena dalam strategi tansinternalisasi nilai ini mencakup 1) tahap transformasi nilai (strategi indoktrinasi),  2) tahap transaksi nilai (strategi memilih, keteladanan dan klarifikasi)    dan 3) tahap transinternalisasi itu sendiri, dimana tampilan pendidik dimata para siswanya bukan lagi sosok fisiknya, melainkan sikap mental dan kepribadiannya. Sehingga di sini dapat dikatakan bahwa terjadi komunikasi antara dua kepribadian yang masing-masing terlibat secara nyata.
  1. Metode Pembelajaran Akhlak[12]

Metodologi pembelajaran sebagaimana dinyatakan oleh sekar Ayu dan Sumedi, merupakan ilmu tentang metode atau sejumlah cara pembelajaran yang akan selalu berkembang seiring dengan usaha para pengembangnya melalui berbagai penelitian dan eksperimen dalam dunia pendidikan.[13]Ini berarti bahwa metodologi mencakup ilmu-ilmu tentang cara-cara yang efektif dalam mengkomunikasikan ide pembelajaran dengan mempertimbangkan komponen-komponen pendidikan secara keseluruhan. [14]

Sedangkan metode pembelajaran merupakan cara  atau jalan mencapai tujuan pengajaran sehingga proses dan hasil belajar lebih berhasil guna dan berdaya guna serta dapat mendorong peserta didik mengamalkan hasil melalui teknik motivasi yang menimbulkan gairah belajar.[15]

Dalam proses kegiatan belajar mengajar atau pembelajaran secara ringkas dapat diklasifikasikan menjadi dua metode, yakni :

  1. Metode Konvensional, yaitu metode yang lazim dipakai dalam sistem pendidikan klasikal-tradisional (sekolah).  Adapun metode-metode yang dapat dikategorikan ke dalam kategori konvensional adalah: Ceramah, Diskusi, Tanya jawab, Demonstrasi dan eksperimen, Kerja kelompok, Sosio-drama atau bermain peran, Karya wisata, Drill, Sistim Regu
  2. Metode Inkonvensional : yaitu suatu teknik mengajar yang baru dikembangkan dan belum lazim digunakan serta masih baru diujicobakan dibeberapa lembaga pendidikan tertentu yang memiliki peralatan dan media yang lengkap serta ahli-ahli pendidikan yang menanganinya Modul, Pengajaran berprogram, Pengajaran unit, Machine program, E-learning, dan lain sebagainya.

Satu hal yang paling penting dalam pembelajaran akhlak ini bahwa tidak ada satu metode yang baku bagi setiap pembelajaran akhlak, satu atau bahkan beberapa metode dapat diujicobakan sekaligus dalam upaya menjalankan sebuah strategi pembelajaran dan pencapaian efektifitas dan efisiensi tujuan pendidikan. Penerapan metode dapat disesuaikan dengan situasi kondisi siswa dan kemampuan  guru yang mengajar serta unsur-unsur pendukungnya. [16]

 

  1. Korelasi Strategi dan Metodologi dalam Pembelajaran Akhlak melalui Model pendekatanMoral Reasoning(Pertimbangan Moral)

Pada mulanya, pembelajaran apapun hanya akan memiliki manfaat bila dimulai dari ruang dan waktu dimana kita berada, yakni situasi dan kondisi yang dihadapi terutama berkaitan dengan aspek moral. Durkheim menegaskan bahwa unsur utama dalam permasalahan moral  dewasa ini tidak terlepas dari tiga hal : semangat disiplin, Ikatan pada kelompok Sosial dan Otonomi atau penentuan nasib sendiri.[17]

Jadi moralitas bukan hanya sekedar sistem perilaku yang sudah merupakan kebiasaan turun temurun, ia adalah suatu sistem perintah yang membentuk keteraturan dan disiplin.[18] Melalui disiplin ini tidak hanya kesejahteraan individu saja yang dapat terpenuhi, namun juga keterkaitannya dengan kelompok  dan komunitasnya.[19] Atau dengan kata lain manusia menjadi makhluk moral karena merupakan makhluk yang  bersosialisasi. Baru setelah melakukan berbagai penyesuaian diri tersebut, melalui penghormatan disiplin dan terikat pada kelompok,  menjadi taat secara sukarela, manusia  harus mempunyai pengetahuan dan kesadaran sejelas-jelasnya mengenai alasan perbuatannya.  Kesadaran inilah yang memberi otonomi pada tingkah laku setiap individu yang selanjutnya akan dibutuhkan oleh kesadaran umum dari setiap makhluk moral yang sejati dan lengkap.

Dalam Islam etika (moral) sangat berpengaruh, bahkan menentukan sekali, ia inheren dengan nilai agama. Antara moral dan hukum terjalin hubungan yang erat. Moral/etika adalah mengetahui bagaimana orang seharusnya bertindak, sedangkan hukumlah yang  mengaturnya.[20] Dari sini jelas bahwa akhlak sebagai bagian dari etika tidaklah tumbuh dari ketidaksadaran, namun melalui proses pemikiran, kesengajaan perbuatan dan kehendak bebas.[21]

Pembelajaran akhlak sebagai salah satu bagian dari bidang pendidikan agama, diperlukan pendekatan perkembangan kognitif, termasuk didalamnya perkembangan penalaran kritis atau proses keterlibatan akal dari siswa secara aktif  sebagai tahapan pertama (kognisi), yang sekaligus ditindaklanjuti dengan tahapan kedua (afeksi) yang aturannya terkait erat dengan tahapan pertama (kognisi) dan tahapan ketiga (psikomotorik). Dengan demikian, pendidikan dan pembelajaran akhlak tidak sekedar terkonsentrasi pada persoalan teoretis yang bersifat kognitif semata, tapi sekaligus juga mampu mengubah pengetahuan akhlak yang bersifat kognitif menjadi makna dan nilai-nilai yang perlu diinternalisasikan dalam diri siswa lewat berbagai cara, media dan forum. Selanjutnya makna dan nilai yang terhayati tersebut dapat menjadi sumber motivasi bagi siswa  untuk bergerak, berbuat, berprilaku secara kongkret-agamis dalam wilayah kehidupan praksis sehari-hari.

Untuk mempertemukan antara ketiga ranah pembelajaran siswa, memang bukanlah satu perkara mudah mengingat terbatasnya waktu pembelajaran dan lain hal dalam kurikulum madrasah[22]. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah melalui pengembangan tingkat pertimbangan moral.[23] Dalam pendekatan ini pembelajaran kognitif siswa diarahkan untuk mengubah cara-cara pikir siswa dalam menetapkan keputusan faith in action, bukan sekedar memilih benar-salah atau  menjelaskan teori dan pengertian-pengertian saja.

Melihat karakter pembentukan nilai moral terbentuk melalui rasionalitas, selanjutnya Ryan menyatakan bahwa pengembangan tingkat pertimbangan m459oral ke arah lebih tinggi dapat terjadi, jika seseorang dihadapkan kepada isu-isu moral.[24] Senada dengan pernyataan tersebut Beddoe menambahkan bahwa peningkatan tahap pertimbangan moral dari siswa dilakukan melalui kegiatan pemecahan permasalahan mengenai konflik-konflik moral dilematis.[25]

Pendekatan pengembangan tingkat pertimbangan  moral berawal dari pengembangan aspek kognitif siswa melalui proses dan kondisi belajar secara terbuka antar teman sebaya mengenai dilema-dilema moral. Hal ini diperlukan karena terbentuknya/berubahnya struktur kognitif  pemikiran moral dipengaruhi oleh factor eksternal dan internal siswa. Ini secara bertahap melatih rasionalitas anak untuk menjawab dilema-dilema tersebut dengan mempertimbangkan sudut pandang dirinya sendiri maupun orang-orang disekitarnya. Melalui diskusi inilah metode indoktrinasi nilai-nilai moral sedikit demi sedikit dihilangkan.

Aspek kognitif yang semula dominan dalam model pembelajaran dan penanaman moral, diarahkan untuk menumbuhkan inisiatif-inisiatif (psiko-motorik) untuk mencari kemungkinan jawaban yang berbeda-beda, sedangkan aspek afektif ditumbuhkan melalui sikap simpati dan empati siswa apabila bertemu dengan orang yang mengalami permasalahan-permasalahan dilematis seperti itu.

 

 

 

  1. Kesimpulan
  2. terdapat berbagai strategi pembelajaran pendidikan akhlak , namun untuk menghasilkan pembelajaran akhlak yang efektif dan efisien adalah dengan strategi indoktrinasi, transaksi dan transinternalisasi nilai Moral (akhlak)
  3. Begitu juga mengenai metode-metode yang digunakan untuk merealisasikan tujuan-tujuan pembelajaran akhlak, dapat menggunakan metode-metode konvensional maupun metode inkonvensional, ataupun juga menggunakan beberapa metode sekaligus dalam sebuah strategi pembelajaran.
  4. Melalui Pendekatan pengembangan tingkat pertimbangan  moral, relasi antara strategi dan metode pembelajaran dalam membentuk akhlak mulia siswa (meliputi pengembangan tiga ranah kecerdasan) dapat  tercapai. Namun demikian pendekatan ini bukan satu-satunya  model  yang tepat untuk dipergunakan, karena pada sisi pengembangan kecerdasan  majemuk (7 multiply intelligent)  belum benar-benar terpenuhi. Disamping juga dengan mempertimbangkan situasi-kondisi siswa, kemampuan guru, sarana prasarana  dan lingkungan pendidikan yang ada.

Untuk itulah diperlukan pembelajaran moral yang rasional dan sekaligus menghasilkan semua manfaat yang diharapkan darinya. Pendidikan moral yang hanya disokong oleh suatu dasar kepercayaan (dogma) tidaklah cukup kokoh untuk menopang moral manusia secara efektif. Kita harus menemukan kekuatan-kekuatan moral tersembunyi dalam sistem moral yang lama, menemukan apa yang datang dari mereka pada kondisi saat ini.

 

* Widyaningsih, Staf Pengajar Ekstrakurikuler di SDIT Baik Krapyak Yogya